Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Post Icon

DRAMA - Ayah Durhaka

AYAH DURHAKA

Kejadian lima belas tahun yang lalu selalu terbayang dalam benakku. Aku ngeri  setiap peristiwa itu muncul dalam otakku.
Gubrakk….
Ayah   :         Rasakan ini!
Putri   :         (sambil menangis) Kenapa Ayah tega melemparku dengan batu itu? Apa              salahku?
Ayah   :         Kau ini, dasar anak tak tahu diuntung! Pura-pura tidak tahu. Siapa yang mengajarimu melakukan hal bejat itu?!
Putri   :         Demi Tuhan, Yah. Aku tak melakukannya. Aku hanya difitnah. Percayalah padaku, Ayah.
Ibu      :         Sudah, Sudah. Kalian tak usah melanjutkan perdebatan ini.
Ayah   :         Tahu apa kau? (plakk, pukulan keras dari Ayah mendarat di pipi Ibuku) Jangan kau bela anak seperti ini. Dia harus diberi pelajaran. Mau jadi apa nantinya kalau dia seperti ini??
Putri   :         Kan aku udah bilang, Yah, aku nggak nglakuin hal itu. Terserah Ayah mau percaya atau tidak. (sambil berlari masuk ke kamar, membanting pintu, dan mengunci  pintu rapat-rapat)
***
Putri   :         Rei, besok Kakak mau pulang ke Indonesia. Kamu harus ikut pulang bersama Kakak. Pokoknya Kakak nggak mau tahu. Kamu harus ikut pulang.
Rei     :         Tapi, Kak. Aku nggak sudi pulang ke rumah kalau kelakuan Ayah belum berubah. Aku pernah  lihat Ayah  memukuli Ibu dengan ikat pinggang sampai lecet-lecet di punggungnya. Lalu ibu masuk kamar dan menangis sambil mencakar-cakar pipinya, Kakak nggak tahu kan?????
Putri   :         Aku tahu Rei,  karena aku yang mengobati luka Ibu. (sambil menatap wajah Rei)
Rei diam, ia tampak memikirkan sesuatu. Ia memandang keluar jendela apartemen. Sesaat kemudian ia membalikkan badan kearahku.
Rei     :         Iya Kak, aku mau pulang demi Ibu.
Putri   :         Ok, besok kita pulang. Nanti aku akan memesan tiket. Sekarang kemasi barang-barangmu.
Rei     :         Baiklah kak.
          Esoknya aku bersama Rei di Bandara Changi. Setelah setengah jam menunggu pesawat yang akan kami tumpangi segera lepas landas. Akhirnya kami sampai di Bandara Adi Sucipto setelah dua jam perjalanan. Kami naik taksi menuju ke rumah kami di Jl. Anggrek No. 1 Bantu, Yogyakarta.
Putri   :         Assalamu’alaikum, Ayah, Ibu. Ini, Putri. Lihat siapa yang datang  sama Putri.
Gita    :         Walaikum salam, Mbak. Wah, ada Mbak Rei. Apa kabar, Mbak? Udah kama nggak pulang.
Rei     :         Baik, Dik. Gimana sekolahmu?
Gita    :         Aku habis ikut Classic Musical Competition, Mbak. Alhamdulillah, aku lolos seleksi.
Rei     :         Hebat sekali adik manisku ini. Nanti Kakak traktir kamu Shusi di Chinesse Restaurant biasa. Setuju?
Gita    :         Setuju, setuju, Mbak. Nanti sore ya, Mbak.
Putri   :         Eh, udah ngobrolnya. Ibu sama Ayah mana, Dik?
Gita    :         Ayah sedang keluar, Mbak, Cuma ada Ibu. Bentar, Mbak, aku panggilin.
          Gita masuk ke dalam memanggil Ibuku. Waktu itu Ibuku sedang menyulam. Wanita Jawa yang nrima ini sangat suka sekali menyulam. Sesaat setelah Gita memanggil beliau. Beliau pun keluar.
Rei     :         Ibu, ini Rei. Aku kangen sekali sama Ibu.
Ibu      :         Ibu juga kangen sekali sama kamu, Rei. (berpelukan)
Putri   :         Nah, lega kan kau, Rei.  Apa kata Kakak? Ibu sangat merindukanmu.
Rei     :         Iya, Kak. Aku lega sekali bisa bertemu Ibu lagi.
          Sesaat setelah tekanan rindu yang bertahun-tahun menyiksa antara Ibu dan anak ini terlepaskan, Ayah datang. Saat itu juga suasana menjadi tegang. Alunan melodi piano Gita pun berhenti dengan seketika. Ia berdiri mematung membayangkan kejadian yang akan terjadi.
Ayah   :         Rupanya besar juga nyalimu, Rei. Beraninya kamu menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Sudah tak mampu membeli makan ya di luar negeri?
Putri   :         Ayah ini ngomong apa sih? Anak pulang bukannya seneng malah marah-marah.
Ibu      :         Sudahlah, Yah. Biarkan Putri sama Rei istirahat dulu. Mereka pasti capek.
Ayah   :         Eh, diam saja kamu! (menatap taham kea rah Ibu). Kamu sudah tidak betah di luar negeri ya, Rei? Pergi nggak pamit, tahu-tahu pulang. Nggak malu kamu, Rei???
Rei     :         Kalau kemarin aku nggak dipaksa sama Mbak Putri, aku juga nggak akan sudi pulang lagi ke sini. Apalagi bertemu dengan Ayah yang tega membunuh Oiver. Aku muak. Aku hanya ingin bertemu dengan Ibu. Ingin tahu keadaan Ibu.
Ayah   :         Jaga mulutmu, Rei!!!!!!!!!!! Kamu memang anak durhaka. Ayah juga tak sudi punya anak sepertimu.
Rei     :         Aku bukan anak durhaka. Ayah yang durhaka. Ayah pembunuh.
Ayah   :         Kau tahu, Rei. Ayah tidak akan mengizinkan satupun anak Ayah menikah dengan orang yang bukan berasal dari ras Jawa. Apalagi dengan anak berandal Indo-Amerika itu.
Rei     :         Ayah egois. Ayah hanya melihat orang dari sisi luarnya saja. Oliver itu anak yang baik. Tidak seperti yang Ayah bayangkan. Rei tidak terima dengan perbuatan Ayah kepada Oliver!
Aku memilih diam melihat Ayah dan Rei bertengkar. Tapi Rei berlari ke dapur berniat mengambil pisau. Dia menabrak Ibu yang sedang membawa makanan dan minuman untuk kami.
Krompyang..
Ibu      :         Ya ampun, Rei. Kenapa kamu berlari?
Rei tidak mempedulikan pertanyaan Ibu. Ia bangkit dan mengambil pisau. Lalu, ia menghampiri Ayah.
Rei     :         Lihat Ayah, aku akan membalas hutang nyawa itu. Ayah pantas mendapatkannya.
Putri   :         Apa yang kamu lakukan Rei??? Sadar Rei, sadar.
Rei     :         Diamlah, Mbak! Ini urusanku dengan Ayah.
Ayah   :         Biarkan saja dia, Put. Lakukan saja, Rei bila kau berani!!!!!
Rei     :         Rasakan ini!!!!! (sambil menghunuskan pisau kea rah Ayah)
Ibu      :         Reiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.. Jangan lakukan itu!!!
Putri   :         Reiiiiiiii!! (mencegah tindakan Rei yang sudah kelewat batas)
Ayah   :         Kau tak akan bisa mencelakaiku. (merebut pisau di tangan Rei dengan gesit)
Ibu      :         Sudah, Ayah, Rei!! (menangis tersedu)
Ayah balik menyerang Rei. Pisau di tangannya tertuju ke arah Rei. Aku mencoba menghalanginya.
Putri   :         Ayah!
Malangnya, pisau itu malah merobek lengan kananku. Darah mengucur deras dari lenganku. Ibu menangis melihat peristiwa  ini. Aku menarik Rei keluar rumah dan kuajak dia pulang ke rumahku.
***
Sesampainya di rumah Nico, buah hatiku berlari menghampiriku.
Nico    :         Mama kenapa? Kok tangannya berdarah?
Putri   :         Nggak papa, Dik.
Deni    :         Kamu kenapa ma? Kok sampai begitu lukanya? (mengamati luka istrinya)
Putri   :         Nggak papa, Pa. Tadi nggak sengaja kena pisau di rumah Ibu.
Rei     :         Maaf mas, ini semua salahku. Karena aku ribut dengan Ayah, Mbak Putri yang kena imbasnya.
Putri   :         Sudahlah, Rei. Ini bukan salah kamu.
Deni    :         Nico, tolong ambilin kotak obat di lemari kecil di kamar Papa.
Nico    :         Ya, Pa. (sambil berlari kecil)
Beberapa saat kemudian
Nico    :         Ini, Pa, kotak  obatnya.
Deni    :         Makasih ya, Sayang.
Nico    :         Obatin Mama ya, Pa.
Deni    :         Iya sayang. Sini, Ma, aku obati lukamu.
Aku mendekati suamiku. Ia mengobati lukaku dengan penuh kasih sayang. Dua jam kemudian aku merasakan lapar yang amat sangat.
Putri   :         Pa, makan di luar yuk. Mama pengen coba bebek penyet di pertigaan pasar itu.
Deni    :         Ya, Ma. Rei nggak kamu ajak?
Putri   :         Rei, kita makan di luar yuk?
Rei     :         Nggak ah Mbak, aku di sini aja.
Putri   :         Kamu disini sendirian, lho? Deni ama Nico ikut kok.
Rei hanya diam membisu. Aku kembali menanyainya.
Putri   :         Oke deh kalau kamu nggak mau makan. Sekarang kamu mau ngapain?
Rei     :         Aku ingin membunuh Ayah.
Putri & Deni  :         Rei? (terkejut)
***
1. Evy Astuti                             (10)
2. Fitria Dewi Sasono                   (11)
3. Hayun Pratama                      (13)
4. Hensatiti Niken Pratiwi             (14)
5. Ida Fitriana                           (15)
6. Sangkan Budiyono                   (24)
7. Syamawan Putra Wiratama      (26)
XI UNGGULAN 1
SMA NEGERI 1 CAWAS

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

Anonim mengatakan...

joss....

hensatitiniken mengatakan...

makasiiiiihhhhhh

Posting Komentar